Baik Baik Ya

Hari ini aku pergi ke bandara, mengantarkan temanku ke luar negeri. Ia hendak pergi ke Jerman untuk melanjutkan studinya. Ia seorang wanita, wanita yang kuat dan amat baik. Padahal baru sebulan lalu ia melangsungkan pernikahan dengan temanku.

Hanya aku yang bisa datang waktu itu. Teman teman kami yang lain sedang sibuk bekerja. Bukan berarti aku seorang penggangguran. Aku juga bekerja, tapi pekerjaanku amat fleksibel, aku sendiri yang mengatur jadwalku. Alhasil hanya ada kami bertiga dalam mobil yang sedang melaju ke bandara.

Di sini aku merasa seperti penjaga keamanan merangkap supir dan kuli angkut. Menjaga keamanan mereka berdua. Menyetir mobil, sedangkan mereka duduk berduaan di bangku belakang. Nantinya di bandara bakal jadi kuli angkut barang seperti tadi waktu di rumah mereka. Memang nasib orang yang masih single. Tapi tak apa, untuk membantu teman baikku yang akan berada di Jerman selama 2 atau mungkin 3 tahun.

“Sin, ntar di Jerman bakal ke universitas mana?” tanyaku waktu kami bertiga duduk menunggu panggilan. Tentunya suaminya duduk di antara kami.

“Ntar di Ruprecht Karls Universität Heidelberg Kar.” Balasnya.

“Owh, di Heidelberg?“ tanyaku lagi, Sinta hanya menggangguk.

“Man, berarti deket sama tempatnya si Indah ya?” aku langsung teringah pada Indah dan suami yang juga ada di Jerman.

“Owh iya bener, si Indah sama suaminya di Jerman juga. Ntar coba main ke sana Dek.” Usul Rahman pada istrinya.

“Wah iya mas, ide bagus tuh. Apalagi katanya mbak Indah kan udah punya anak.” Sinta setuju pada ide suaminya.

Tak terasa penerbangan ke Jerman akan segera dilakukan. Semua penumpang dipanggil, diminta beranjak dari kursi tunggu. Termasuk Sinta. Kamipun bersiap.

“Baik baik ya kalian, ketika jarak dan waktu menjadi batasan yang nyata bagi kalian. Semoga kalian bersabar. Kuharap waktu kan menunjukkan kebijaksanaannya.” Ucapku pada mereka berdua.

“Sok bijak kamu Kar.” Rahman geleng geleng kepala.

“Iya Kar, siap. Di tunggu undangannya ya, hehehe.” goda Sinta.

“Iya tuh Kar. Hehehe.” timpal Rahman.

Sial, umpatku dalam hati. Aku lalu menundukkan kepala dan berbalik badan. Memberikan ruang untuk mereka, pasangan yang hendak berpisah.

“Aku duluan ya” ucap Sinta.

“Ati ati” aku dan suaminya bersamaan, sambil melambaikan tangan.

Kami berdua mematung sejenak, menunggu Sinta menghilang dari pandangan. Setelah memastikan pesawat yang ditumpangi Sinta sudah take off, kami beranjak ke mobil. Pulang. Masih banyak pekerjaan yang harus kami lakukan.

“Bulan depan, aku harus ke Jerman!” Ucap Rahman di tengah perjalanan pulang.

Aku sejenak menengok ke arahnya, lalu tersenyum dari balik kemudi.

“Insya Allah.“ ucapku lirih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penerapan Hukum Archimedes

Menjagamu

Garis Finish Lari Tadi