Sebuah Jawaban
Malam itu aku menunggu salah
seorang kawanku di sebuah kafe. Ia seorang wanita. Ia hendak menyerahkan sebuah
dokumen padaku. Biasanya kalau sudah 'kadung' malam, ngasih-nya bisa besok
besok. Hanya saja ia harus pergi besok pagi dengan penerbangan pertama. Dan
kabarnya dokumennya tidak dapat dikirim lewat email. Jadi harus ketemu
langsung. Sebenarnya, selain untuk menyerahkan dokumen, darinya pasti ada yang
ingin diceritakan. Dan itu tujuan utamanya bertemu denganku malam ini,
bercerita. Menyerahkan dokumen hanya suatu bentuk 'modus' saja. Tidak lebih.
Pelayan datang menghampiri
mejaku, mengantarkan tiga gelas minuman dan satu piring camilan.
“Ini punya adek ya kak!” ucap
adikku, ia tak ingin pesannya di’ganggu’ orang lain.
“Iya iya, itu punya adek.” aku
mengalah, tak mau membuatnya rewel. Aku kemudian menyeruput kopi pesananku dan
mengambil camilan. Membiarkan adikku asyik dengan pesannya dan membiarkan pula
pesanan temanku sendirian.
Aku memang sengaja mengajak
adikku kemari. Kasihan jika ditinggal sendiri, dia baru tiba ke kota ini tadi
sore. Katanya hendak main ke tempat kakaknya, bosan dirumah mulu. Lagi pula
teman yang sedang aku tunggu tidak mau jika bertemu hanya berduaan. Jika tidak
dia yang membawa teman, maka aku yang harus membawa teman. Dia saat ini tidak
membawa temannya, jadi aku yang membawa adikku. Aku kemudian memperhatikan
jalanan diluar. Sejenak menerawang keluar dari jendela kafe.
"Assalamu'alaikum" ucap
seorang wanita, membuyarkan lamunanku.
"Wa'alaikumsalam Din.
Silahkan duduk Din." Balasku sambil memperbaiki posisi duduk.
"Ini siapa?" ucapnya
lembut pada adikku yang sedang memakan es krimnya.
"Ardi kak" balas adikku
sambil memamerkan giginya yang ompong karena kebanyakan makan permen.
"Owh ya, ini adik aku, Ardi.
Lagi main ke Bandung. Katanya bosen di rumah terus pingin main ke tempat aku di
Bandung." jelasku pada Dini.
Dini mangut mangut.
“Ardi gak capek tadi naik kereta
ke Bandung?” tanya Dini pada Ardi.
“Capek lah kak. Tapi aku kan kuat
kak!” ucap Ardi jumawa. Padahal, paling setengah jam lagi dia sudah tidur.
“Kaaak, Ardi kesana dulu ya” Ardi
menarik jaketku sambil menunjuk tempat bermain anak anak yang ada di kafe
tersebut.
Aku mengangguk menuruti kemauan
adikku. Tak baik membuatnya ngambek apalagi didepan Dini. Nanti bisa runyam
ceritanya. Lagi pula dia masih dapat kuawasi dari tempatku duduk.
“Owh ya, jadi gimana Din?”
tanyaku pada Dini yang sedang menyeruput pesanannya.
“Owh iya lupa…” Dini mengeluarkan
map plastik yang berisi banyak dokumen.
“Ini dokumennya Ya. Nanti kamu
baca baca terus kamu analisis ya bagian per bagian. Nanti kalau udah kamu bikin
resume-nya ya. Nah, resume itu yang besok bakal dipresentasiin.” sambungnya.
Ia kemudian menjelaskan bagian
per bagian dari dokumen yang ia berikan. Sesekali aku bertanya padanya jika ada
yang tak jelas. Tiba tiba Ardi menghampiri kursiku sambil mengucek matanya.
"Kak, Ardi udah ngantuuk." Ardi sudah menguap, benarkan dia takkan bertahan lama.
"Kak, Ardi udah ngantuuk." Ardi sudah menguap, benarkan dia takkan bertahan lama.
"Ya udah sini tidur." aku menepuk nepuk kursi disampingku. Dan diapun tidur terlelap dengan jaket kesayangannya.
“Owh ya, aku gak tahu besok bakal bisa
kelar atau enggak. Tapi aku usahain deh.” komentarku pada tugas yang dia berikan.
“Bisalah Ya. Lagian batesnya sore
kog.” jawabnya, mencoba meyakinkanku.
“Emang batesannya jam berapa
Din?” tanyaku padanya.
“Jam 5 pas. Gak boleh lebih. Eh
ya, aku mau cerita sesuatu ke kamu Ya. Boleh gak?” Dini meminta ijin.
“Insya Allah bisa kalau jam
segitu. Sok aja kalau mau cerita.” jawabku mempersilahkannya
"Ya, aku tuh ada temen
cewek yang lagi deket sama cowok gitu. Mereka tuh sama sama gak mau pacaran,
tapi udah agak deket. Pernah si ceweknya tuh sampai bilang gini ke aku, "Kapan sih si ini ngelamar aku?". Dianya pernah juga ngode gitu ke yang cowok, tapi gak ada jawaban. Menurutmu gimana?" kisah Dini
Dalam hati, kog Dini kayak nyeritain tentang aku ya. Ah tapi mungkin bisa jadi orang lain. Aku kog
ke-geeran gini dah.
"Terkadang jawaban tidak datang dalam bentuk kata kata, tulisan ataupun ucapan. Ia bisa menjelma menjadi perbuatan ataupun hal menakjubkan lainnya..." jawabku setelah mengusir prasangka.
"Dan jawaban itu akan datang
pada saat yang tepat. Tidak terlalu cepat ataupun terlalu lambat. Gitu
kan?" lanjut Dini seolah tahu lanjutan jawabanku.
"Kog kamu tahu sih
kelanjutannya Din?" tanyaku penasaran.
"Yalah, bukannya itu status
kamu di Line ya" jawabnya sambil menunjukkan layar handphone yang menunjukkan statusku di Line
Aku cuma nyengir sambil ber-hehe
pelan.
"Tapi kasihan gitu lo Ya. Si
ceweknya kayak ngerasa digantungin gitu. Kalo yang cowoknya mau sekalian aja dilamar. Kalo belum bisa ya jaga dirilah. Jangan ngasih harapan kosong gitu ke cewek." ucapnya sambil mengaduk aduk minumannya.
Saat itu berasa hatiku jleb, aku benar benar dihakimi oleh Dini.
"Iya sih kasihan si ceweknya Din." komentarku.
Dini melihat hapenya.
"Ya, aku pamit dulu ya.
Jemputannya udah dateng." pamitnya sambil membereskan barangnya.
"Oke, jadi ceritanya
udah?" jawabku sambil mengangguk.
"Iya, udah kog. Duluan ya.
Assalamu'alaikum" Dini melambaikan tangan dan berjalan cukup cepat.
"Wa'alaikumsalam, ati
ati" balasku.
Seketika itu aku teringat
sesuatu,
"Eh Din" teriakku, untung dia belum jauh.
"Ya?" Dini menoleh.
"Cowok yang dicerita kamu
tuh aku bukan?" tanyaku penasaran.
Dini mengangguk pelan, lalu
kembali berjalan. Deg, aku mematung sejenak. Tanpa kusadari jilbab birunya
menghilang bersamaan dengan berbeloknya dia dari hadapanku.
Aku menghela nafas pelan, serasa
aku baru saja dihakimi. Aku menoleh ke adikku yang sudah tidur di kursinya. Aku harus menggendongnya untuk pulang. Sepertinya tidurnya cukup nyenyak. Ia sama sekali
tidak ribut ketika kugendong.
Sesampainya di kosan kubaringkan Ardi di kasurku. Kuambil selimut untuk menutupi badannya. Aku beranjak ke kamar
mandi, mengambil air wudhu. Aku harus memberikan jawaban atas pertanyaan yang 'dia' ajukan, walaupun tak secara langsung. Kali ini harus dengan jawaban yang
mantap, tanpa keraguan didalamnya. Selesai shalat dan tilawah kuputuskan
menelpon rumah. Kulihat jam sudah tengah malam, tak apa.
Tuuut tuuut tuuut, belum juga
diangkat
"Assalamu'alaikum Bu"
ucapku setelah telepon tersambung.
Terdengar balasan salam diujung
sana.
"Bu, Arrya mau nikah boleh
kan?" ucapku mantap.
Setelah itu aku diberondong berbagai
pertanyaan. Tentang nantinya bagaimana kuliahku? Mau makan dari mana? Sama
siapa? Ada angin apa? Dan sederet pertanyaan lainnya.
***
Di atas sajadah, sesosok gadis
baru saja selesai berdoa. Doa yang amat khusyuk dan syahdu. Ia masih
mengenaikan mukena untuk menutupi auratnya. Terlihat jelas bekas air mata
mengering dibawah kelopak matanya.
Tuut tuut tuuut
Terdengar handphone yang ada
dimeja belajarnya berbunyi. Ada telepon masuk.
Siapa sih yang sepagi ini sudah menelpon, keluhnya dalam hati
"Halo Assalamu'alaikum
Ntan" ucap suara diujung sana, suara seorang laki laki.
"Wa'alaikumsalam, ada apa
Ya?" balasnya
"Akhir minggu ini kamu
sekeluarga ada di rumah gak Ntan? Insya Allah aku sekeluarga hendak
bersilaturrahim." jawab suara yang ada diujung sana.
Gadis itu menutup mulutnya, agak
kaget dan sendikit haru. Tangisnya setidaknya akan meledak, tapi ia mencoba
menahannya. Tak enak dengan orang lain diujung sana.
"Insya Allah ada"
jawabanya ketika ia sudah sedikit tenang.
"Oke makasih ya.
Assalamu'alaikum." tutup suara yang ada diujung sana.
"Wa'alaikumsalam."
ucapnya lirih sementara telepon sudah ditutup diujung sana.
"Terima kasih ya Allah atas
jawaban segala doaku selama ini" ucapnya
Kembali air mata membasah dalam sujudnya. Sujud yang cukup lama dan syahdu. Tentunya itu bukan air mata kesedihan.
Komentar
Posting Komentar