Mengolah Marah

Siang itu, aku bersama kawanku berjalan menuju gerbang kampus. Jadwal kami hanya sampai siang. Tak ada kuliah sore. Lagi pula, sore ini tak ada kegiatan di kampus. Setidaknya kegiatan yang menarik bagi kami.

"Di, kamu pernah liat si Irul marah?" kawanku memulai obrolan. Irul adalah salah satu kawan kami di kampus.

"Emang si Irul bisa marah ya?" balasku sambil meliriknya sendikit tertawa.

"Gak tahu sih, tiap orang bukannya bisa marah ya?" sanggahnya datar.

"Iya sih. Tapi aku gak pernah liat dia marah." aku mengalihkan pandanganku ke langit.

"Hebat ya, dia gak pernah marah di depan kita. Seenggak bener apapun kelakuan kita, dia cuma nge-nasehatin kita. Ngenasehatinnya adem pula." kawanku menghelakan nafas. Tanpa sengaja aku mengingat kejadian apa saja yang telah kami lewati bersama Irul, lantas ikut menghela nafas.

"Mungkin dia kuat banget buat ngenahan amarahnya. Atau bisa jadi, dia nyalurin energi marahnya buat ngerjain sesuatu yang bermanfaat . Kan kalo kata dia, daripada marah gak jelas, mending ngelakuin sesuatu yang bermanfaat." ucapku panjang lebar setelah mengingat kelakuan si Irul.

"Bener juga sih." kawanku menganggukan anggukan kepala. 

"Kenapa kita jadi ngomongin orang ya? Astaghfirullah!" aku tersadar, lalu mengelus dadaku.

"Astaghfirullah! Kita kenapa nirfaedah gini dah!" kawanku ikut mengelus dada, ia seolah menyalahkan diriku.

"Lah gatau, kamu yang mulai sih!" aku hendak menepuk bahunya keras keras, tapi ia berhasil menghindar.

"Udah ganti topik lain aja." usulnya. Aku mengangguk pelan.

Kamipun terus berjalan. Berpindah dari langkah yang satu ke langkah yang lain. Berganti dari topik yang satu ke topik yang lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penerapan Hukum Archimedes

Menjagamu

Garis Finish Lari Tadi